Mahasiswa, Kepemimpinan, dan Masa Depan yang Sedang Ditulis
14 December 2025 | Intan | 57 kali dilihat
Banjarmasin | Esai. Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) STIKES ISFI Banjarmasin bukan sekadar agenda rutin pengkaderan organisasi. Ia adalah ruang refleksi, tempat mahasiswa diajak berhenti sejenak dari hiruk-pikuk aktivitas akademik untuk menimbang satu pertanyaan mendasar: apa arti kepemimpinan, dan untuk siapa ia dijalankan?
Dalam sesi reflektif yang disampaikan oleh Ketua Senat STIKES ISFI Banjarmasin, kepemimpinan mahasiswa dipotret melalui perspektif pemikiran Anies Baswedan—sebuah cara pandang yang menempatkan mahasiswa bukan sebagai pelengkap sejarah, melainkan sebagai penulis bab-bab penting perjalanan bangsa . Kampus, dalam kerangka ini, dipahami bukan semata ruang transfer ilmu, tetapi laboratorium demokrasi tempat nilai, keberanian moral, dan tanggung jawab sosial ditempa sejak dini.
Mahasiswa sebagai Pemilik Masa Depan
Salah satu gagasan kunci yang ditekankan adalah bahwa mahasiswa bukan pewaris masa lalu, melainkan pemilik masa depan. Masa depan tidak datang sebagai warisan, tetapi sebagai hasil dari keberanian membayangkan dan memperjuangkan perubahan. Karena itu, gerakan mahasiswa tidak boleh sekadar meniru pola lama atau mengulang romantisme sejarah, melainkan harus berangkat dari kepekaan terhadap persoalan nyata dan keberanian menyusun visi baru yang relevan dengan zamannya .
Dalam konteks ini, organisasi mahasiswa menjadi wahana strategis untuk melatih imajinasi kolektif: bagaimana merumuskan tujuan, menyusun arah gerakan, dan memastikan setiap langkah berpijak pada kepentingan bersama, bukan pada ambisi personal.
Kepemimpinan yang Lahir dari Tanggung Jawab
Kepemimpinan, sebagaimana ditegaskan dalam materi LDK, tidak ditentukan oleh jabatan, struktur, atau gelar. Ia lahir dari kesediaan menanggung konsekuensi. Pemimpin adalah mereka yang berdiri lebih dulu ketika belum ada yang berani berdiri, dan tetap bertahan ketika situasi menjadi sulit .
Di lingkungan kampus, prinsip ini menemukan bentuk konkretnya dalam hal-hal sederhana namun bermakna: konsistensi menjalankan program, keberanian mengambil keputusan yang tidak populer tetapi benar, serta kesanggupan mempertanggungjawabkan setiap amanah secara terbuka dan jujur. Dari sanalah legitimasi kepemimpinan tumbuh—bukan karena penunjukan formal, tetapi karena kepercayaan.
Gerakan dengan Arah, Bukan Sekadar Suara
Refleksi berikutnya menyentuh kritik tajam terhadap aktivisme yang berhenti pada kebisingan. Gerakan yang hanya mengandalkan suara keras, poster, atau orasi, tetapi kehilangan arah moral, pada akhirnya akan kehilangan dampak. Sebaliknya, gerakan yang memiliki arah jelas—berbasis nilai, riset, dan kontribusi nyata—akan meninggalkan jejak perubahan yang berkelanjutan .
Bagi mahasiswa STIKES ISFI Banjarmasin, pesan ini relevan dengan karakter keilmuan kesehatan. Kepemimpinan tidak cukup diartikulasikan dalam wacana, tetapi harus terwujud dalam aksi yang menyentuh masyarakat, meningkatkan kualitas layanan, dan memperkuat empati sosial.
Integritas sebagai Fondasi yang Tidak Bisa Dipinjam
Dalam seluruh diskursus kepemimpinan, integritas ditempatkan sebagai fondasi utama. Integritas tidak bisa dipinjam, tidak bisa diwariskan, dan tidak bisa ditunda pembangunannya. Ia harus dijaga dalam hal-hal kecil: kejujuran dalam laporan, disiplin terhadap waktu, dan kesesuaian antara kata dan tindakan .
Tanpa integritas, organisasi kehilangan kepercayaan; tanpa kepercayaan, kepemimpinan kehilangan makna. Karena itu, mahasiswa didorong untuk menjadikan organisasi bukan sekadar ruang aktualisasi, tetapi ruang latihan etika publik.
Dari Wacana ke Tindakan, dari Optimisme ke Harapan
LDK ini juga mengajak peserta membedakan antara pemimpi dan pemimpin. Pemimpi banyak berbicara, pemimpin banyak menuntaskan. Kepemimpinan diukur dari kemampuan menghadirkan hasil, bukan sekadar gagasan .
Lebih jauh, kepemimpinan sejati dipahami sebagai sumber harapan—bukan optimisme kosong, tetapi keyakinan rasional bahwa masa depan dapat diperbaiki melalui kerja bersama. Pemimpin yang baik tidak hanya mengajak orang bekerja, tetapi mengajak orang percaya bahwa perubahan itu mungkin.
Kampus sebagai Miniatur Negara
Pada akhirnya, organisasi mahasiswa dipandang sebagai miniatur negara. Cara mahasiswa mengelola konflik, memimpin tim, mengelola dana, dan menyusun pertanggungjawaban hari ini, adalah cermin dari cara mereka kelak memimpin masyarakat dan bangsa. Apa yang dilatih di kampus, itulah yang akan dipraktikkan di ruang publik .
Melalui Latihan Dasar Kepemimpinan ini, STIKES ISFI Banjarmasin menegaskan komitmennya untuk tidak hanya mencetak lulusan yang kompeten secara akademik, tetapi juga pemimpin muda yang berintegritas, berorientasi pada solusi, dan berpihak pada masa depan. Karena organisasi mahasiswa bukan tempat bermain-main. Ia adalah tempat belajar menjadi penjaga masa depan. (yugs2025)